Sample Text Footer

PUSAT PERLENGKAPAN MINIMARKET DAN SUPERMARKET, RAK GONDOLA, AKSESORIS, SOFTWARE KASIR SERTA MELAYANI PENDAMPINGAN TOTAL MANAGEMEN

Rabu, 04 Februari 2015

BERJUANG SEBAGAI SANTRI


Sejenak kita lupakan dahulu hiruk pikuk kehidupan dunia yang mumeti. Tulisanku kali ini tidak membahas hal-hal yang serius, tapi tetep punya nilai. Karna hidup tanpa nilai sama dengan makan asal kenyang, tidur asal tidak ngantuk dan bersetubuh asal puas. Tentunya tidak se ekstrim itu kawan. Nilai-nilai dalam kehidupan sangat berguna sepanjang masa, selama manusia hidup di dunia yang katanya fana namun harus penuh makna.
Membuka cakrawala menerawang kedepan. Kemudian membayangkan impian-impian yang indah, sungguh hal yang tak pernah menjemukan. Bosan wajar, karena hal itu belumlah kita rasakan. Tulisan saya mungkin tidak se-ampuh tulisan motivator terkenal seperti Ipho santosa, Bob Sadino dan bapak sukses Mario Teguh yang kata bijaknya kontradiktif bagi kalangan pemalas yang tak mau mencoba. Saya hanya akan mengajak para pembaca semua khususnya diri saya sendiri yang masih labil dan membutuhkan dorongan untuk mau mencoba dan tak putus asa. Tak lupa berserah diri kepada Pembesar Alam ini adalah sebuah keharusan. Agar kita tidak sombong.
Semangat berjuang telah dicontohkan para pendahulu kita, leluhur yang berjasa mendapatkan nusantara merdeka. Meski kita tidak menyaksikan langsung perjuangan mereka namun kita merasakan langsung hasil jerih payah yang bahkan mereka tidak semuanya ikut menikmati saat ini. Lebih dalam kita renungkan betapa mereka (para pejuang) dengan tulus membebaskan rakyat indonesia dari belenggu penjajahan fisik dan mental. Kita sebagai anak cucu para penjuang tak boleh mengecewakan mereka. Kita harus tahu bahwa selamanya kita terus berjuang. Tak ada kata istirahat untuk bersantai.
Bersikap skeptis boleh, apakah nusantara ini benar-benar sudah terbebas dari penjajahan? Jawablah sudah. Itu betul, namun kurang tepat, bahakan salah. Sebagai seorang nasionalis yang menggunakan paradigma agama kita dibayang-bayangi oleh kekhawatiran generasi muda yang semakin berubah gaya. Trend alay saat ini sangatlah menjijikkan. Dosen bahasa indonesia di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta pernah mengutuk salah satu mahasiswanya yang menggunakan bahasa-bahasa planet alay dan tentunya bahasa dunia lain (alam tak kasat). Ini hal yang merusak namun di kultuskan. Lebih lanjut, moral masyarakat yang semakin kacau tak pelak menjadikan tampilan buram di masa kini. Pergaulan bebas, kriminalitas dan jalan pintas mencari rejeki adalah penjajah yang samar namun nyata yang perlu di basmi.
Sebuah apresiasi tentunya perlu kita berikan kepada pemerintah. Sejak beberapa tahun lalu gencar sekali mempromosikan konsep pendidikan karakter. Tentunya sebagai upaya pembenahan moral masyarakat. Bapak Muhammad Nuh bahkan menyanjung pondok pesantren sebagai sebuah media yang sangat baik dalam mengaplikasikan secara nyata konsep pendidikan karakter. Nampaknya kesadaran pemerintah dalam menjalankan pendidikan sepanjang hayat bagi masyarakat bukan sebuah bias dari fenomena kerusakan moral.


Apresiasi perlu aplikasi dengan keyakinan penuh. Penuh keyakinan bahwa pembenahan moral bangsa dapat dilakukan dengan memesantrenkan masyarakat. Dimana masyarakat seumur hidupnya berlaku layaknya santri. Tidak bermaksud merendahkan. Sebab analoginya adalah seorang yang belajar dan mengamalkan ilmunya adalah santri, seseorang yang mengajar santri mereka (kiai-ulama) dahulunya juga santri. Jadi baik kiai-ulama ataupun muridnya adalah santri. Seburuk apapun santri tak akan ia mengkhinati dedikasinya sebagai santri untuk selamanya. Jikalau santri khilaf yakinlah ia akan insaf.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar