Sample Text Footer

PUSAT PERLENGKAPAN MINIMARKET DAN SUPERMARKET, RAK GONDOLA, AKSESORIS, SOFTWARE KASIR SERTA MELAYANI PENDAMPINGAN TOTAL MANAGEMEN

Rabu, 04 Februari 2015

MENGGUGAH KESADARAN BERSYUKUR

Mengetahui makna bersyukur dengan cara merasakan, menghayati dan menghadirkan keikhlasan sejati. Pernahkan kita merasa kehilangan hal-hal yang sangat kita sayang, sesuatu yang menurut kita istimewa, bahkan seakan-akan tak boleh lepas dari kehidupan kita. Ketika kita menyadari benda-benda (kalau memang materi) atau orang-orang yang kita cinta meninggalkan kita, tentu rasa sesal dan kehilangan secepat kilat singgah di pikiran kita. Bahkan secara tidak sadar hati kita akan terisi dengan perasaan-perasaan gundah yang tak tentu arah. Betapa hal yang demikian sudah tentu mengganggu aktifitas kita. Rutinitas dan segala hal baik yang tadinya kita pikir didukung oleh kehadiran benda dan orang-orang istimewa tersebut menjadi kacau balau. Hampir semua orang pernah merasakan hal tersebut, hingga berujung pada beberapa pelampiasan yang kebanyakan tak bermanfaat. 

Mari kita mendalami kembali pikiran dan perasaan kita dengan membandingkan dan menganalogikan hal-hal yang rasional namun tidak menafikan spiritual. Ketika kita mengikuti konsep kebanyakan orang yang beranggapan bahwa kesuksesan kita berasal dari sifat tunggal materi dan motivasi orang lain. Atau sebaliknya, keterpurukan kita berasal dari kurangnya materi dan tak pernah mendapat dukungan moral. Pemikiran tersebut menjadikan manusia menuhankan makhluk meski secara halus. Konsep-konsep semacam itu hanya kulit luar yang nampak logis dan sangat rasional. Namun dibalik itu semua, kita menjadi sangat terbebani dengan predikat prestasi kemanusiaan yang diagungkan oleh kelompok kapitalis. Kita menjadi buta dengan potensi hati nurani yang pada dasarnya memiliki ketertarikan kuat terhadap kebaikan. Sebagaimana fitrah Tuhan yang menciptakan manusia cenderung mencari ke-Esa-anNya.

Sesuatu yang rasional harus ditimpa dengan hal yang masuk akal. Coba kita kembali pada pembahasan hati nurani. Manusia secara lahiriah akan mengetahui tentang baik dan buruk melalui hati. Keistimewaan ini tidak diberikan kepada binatang, tidak juga diberikan kepada iblis. Manusia seharusnya mampu menyelaraskan nurani dengan karunia akal cerdasnya, hingga membuahkan keindahan dan kejernihan laku dalam hidupnya. Perumpamaan tersebut mampu menjawab pertanyaan tentang kacaunya moral manusia yang memilih konsep kapitalis tersebut. Kasus yang berkaitan dengan kehilangan materi dapat dijawab dengan keterpaduan hati dan pikiran. Jika kita mengikhlaskan materi yang hilang tentu akal jernih kita mampu menemukan solusi cerdas untuk mendapatkan pengganti materi tersebut. Dalam pembahasan kali ini yang demikian termasuk level sedang.

Perbedaan mencolok terhadap cara menyikapi permasalahan materi terdapat pada pemikiran orang-orang yang teguh dalam beragama. Para Rasul dan Ulama adalah orang-orang yang sangat memahami bagaimana cara bersikap serta mengetahui konsekuensinya. Keistimewaan mereka adalah mengetahui tentang ilmu tauhid. Dengan ketahuhidan yang tinggi mereka sangat dekat dengan Allah Tuhan semesta alam. Allah swt yang menciptakan manusia dilengkapi dengan hati dan pikiran. Orang-orang yang mampu menggunakan hati dan pikirannya belum tentu mereka mampu berdekatan dengan Penciptanya. Meski kesuksesan bisa muncul dari hati dan akal, namun perlu ditegaskan bahwa kesuksesan tersebut tak ubahnya sama dengan konsep dan ukuran yang dibuat manusia. Demikian adalah level dunia.

Manusia bisa mencapai tahap yang tinggi ketika mereka mampu menahan diri dan menyingkap kelemahan mereka. Upaya untuk terus mendekatkan diri kepada Allah merupakan sebuah perwujudan dari keinginan manusia mendapatkan derajat yang tinggi di sisiNya. Dengan cara memurnikan niat dengan menyadari bahwa kehidupan didunia tidaklah kekal. Kemurnian niat secara otomatis mematikan konsep ukuran kesuksesan yang diciptakan oleh manusia. Kemurnian niat tersebut juga mampu mengurangi beban manusia terhadap penyesalan akan hilangnya materi, perginya orang-orang yang dicintai dan rendahnya status sosial.

Kedekatan dengan sang pencipta dapat diwujudkan dengan sikap patuh kepada perintahNya dan menjauh dari laranganNya lebih lanjut disebut dengan takwa. Dalam ilmu tasawuf dikenal istilah “kun mura>dan wa la> takun muri<dan”  yang berarti jadilah engkau makhluk yang merasa diatur Allah, jangan merasa menjadi pengatur. Jika kita memahami setiap detail kalimatnya maka kita bisa simpulkan bahwa manusia tidak memiliki hak untuk memilih, mengatur, bahkan protes terhadap keputusan Allah. Namun jika kalimat tersebut berdiri sendiri (tanpa penjelas) dan disampaikan kepada orang awam kemungkinan besar mereka akan merasa semakin terpinggirkan. Namun jika kita gandeng dengan dalil tentang syukur nikmat, kalimat diatas akan semakin rasional. Tentu akan timbul pertanyaan, bagaimana mungkin kita sebagai manusia berani mengingkari nikmatnya, tidak mengakui keberadaanNya sebagai Pemberi anugerah. Sungguh teramat nista mereka yang berkata demikian. Dengan berangan-angan tentang hal-hal yang sederhana, kita akan menyadari ternyata kesederhanaan tersebut tidak mampu kita ciptakan. Contoh, pernahkan kita berfikir tentang bayi yang berada di dalam kandungan, “siapakah yang memberi makan?” jika dijawab “tentu yang memberi makan ibunya”

akan timbul pertanyaan “dari mana ibu menyalurkan makanannya kepada sang bayi?”

jika dijawab “tentu dari organ pencernaan sang ibu”

akan timbul lagi “siapa yang mengatur penyalurannya sampai ke tubuh bayi, bisakah sang ibu tetap
mencerna makanan namun menghentikannya agar tidak tersalur ke tubuh bayi?”
dan masih banyak sekali pertanyaan yang sangat sederhana namun tak pernah terfikir bagaimana

kita menjawabnya dengan akal pendek kita. Kita tak akan mampu menjangkau sisi-sisi detail dari pekerjaan Tuhan yang maha tahu, maha perkasa dan maha segalanya. Dialah Allah tuhan yang menguasai hal terkecil sampai yang paling besar. Berdasar argumen di atas, pantaskah kita merasa sombong dengan kekuasaan kita? Pantaskah kita acuh dengan pemberianNya yang tak terbatas? Kekuasaan kita tak mampu menghidupi orang diseluruh negeri, kesombongan kitalah yang akan menjadikan kita malu di hari kebangkitan kelak. Mari bersyukur atas karunianya, dengan bersyukur kita akan termasuk hamba yang dengan suka rela menjadi mura>dan, dan tak pernah merasa sombong dan menjadi muri<dan. Agar hati kita tenang dalam keikhlasan dan rasa syukur yang membuahkan keidahan dunia dan akherat.




krapyak, 1 oktober 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar